Pola pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia khususnya Taman
Nasional telah beberapa kali bermetamorfosis,
hingga Pada tahun
2006, paper pertama yang ditulis oleh Ir. Wiratno, M.Sc saat itu Kepala TN
Gunung Leuser (TNGL), dengan icon resort-based management (RBM) didasari pada
latar belakang bahwa terjadi fenomena yang disebut sebagai “paper park” di TNGL;
yaitu kondisi lapangan yang tidak dijaga oleh staf dalam jangka waktu yang
(sangat) lama, sehingga menimbulkan berbagai persoalan yang kronis. Akar masalahnya beragam, mulai dari lemahnya
leadership, konflik sipil-militer di Aceh, dan lain sebagainya.
Tahun 2009
pada Rakernis PHKA, Subdit PP mengusulkan kegiatan RBM dan penanganan
perambahan di KK, walaupun belum terbit Renstra PHKA yang mengamanatkan
diberlakukannya pengelolaan taman nasional berbasis resort di 50 TN. Renstra
PHKA baru terbit pada tahun 2011, untuk Renstra periode 2010-2014.
Gaung RBM
semakin keras bergema dan pola RBM tersebut telah dilaksanakan pada beberapa Taman
Nasional, hingga pada tahun 2012 Taman
Nasional Bukit Baka-Bukit Raya mulai menerapkan pola Resort Base Management
dalam pengelolaan kawasannya.
Dalam
pelaksanaannya, RBM pada Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya banyak menemui kendala yang diantaranya yaitu;
kurangnya kesiapan SDM maupun sarana dan prasarana kegiatan yang dapat
menunjang dalam pelaksanaan RBM tersebut.
Untuk
mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan RBM tersebut mesti dibutuhkan kekompakan tim dalam suatu
resort, dimana seorang kepala resort dapat menjadi motor penggerak yang handal
dan dapat memimpin para anggota resort agar dapat bekerja secara kompak guna
mencapai hasil yang maksimal.
Kurangnya
sarpras dari suatu resort tentunya sudah tidak dapat lagi dijadikan alasan
dalam pelaksanaan RBM, karena disinilah inovatif dari seorang kepala resort
maupun anggota resort diperlukan agar resort tersebut dapat berhasil dalam
mengelola wilayah kerjanya.
Salah satu
contoh yaitu pada Resort Tumbang Hiran, dmana untuk mencapai lokasi kantor
resort tersebut saja sudah memakan waktu selama 1 hari perjalanan dan pada
resort tersebut tidak ada fasilitas ataupun sarana dan prasarana yang memadai
selain hanya sebuah bangunan tua yang sudah mesti direnovasi.
Namun
keinginan guna kemajuan Resort Tumbang Hiran sudah menjadi tekad kuat yang
terbentuk dari personel resort. Inilah modal awal yang menjadi dasar kemajuan
dari Resort Tumbang Hiran.
Langkah awal
yang dilakukan Resort Tumbang Hiran yaitu menyiapkan wadah untuk menjadi sebuah
kantor resort. Karena sangatlah tidak tepat jika sebuah resort pengelolaan
namun tidak memiliki wadah atau kantor pengelolaan.
Dengan
swadaya dari personel Resort Tumbang Hiran maka dibenahilah bangunan tua yang
dulunya disebut Visitor Center tersebut untuk disulap menjadi sebuah kantor
resort tanpa menghilangkan fungsinya sebagai Visitor Center.
Setelah
terbenahinya bangunan kantor resort, kendala lain muncul setelah setiap selesai
pelaksanaan kegiatan lapangan baik itu kegiatan inventarisasi maupun
pelaksanaan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan. Kendala tersebut yaitu
tidak adanya peralatan untuk menampilkan hasil kegiatan dilapangan agar dapat
menampilkan cuplikan hasil kegiatan dilapangan selain fhoto kegiatan yang
diperoleh dilapangan. Permasalahan inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk
membuat maket yang memuat wilayah kerja resort dengan berbagai kondisinya yang
diperoleh dari lapangan.
Maket kerja Resort
Tumbang Hiran selain memuat peta wilayah kerja dengan topografinya juga menampilkan
berbagai kondisi lapangan seperti daerah rawan gangguan, penyebaran jenis flora
dan fauna serta memuat beberapa desa penyangga yang terdapat pada wilayah kerja
Resort Tumbang Hiran dengan berbagai kondisinya.
Data yang terdapat pada maket tersebut
setiap waktu berkembang seiring hasil pelaksanaan kegiatan keresortan. Dan nanti
diharapkan kedepannya maket wilayah kerja Resort Tumbang Hiran ini dapat benar-benar
menjadi cuplikan nyata kondisi wilayah kerja Resort Tumbang Hiran yang lengkap
sesuai kondisi di lapangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar