Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya


Kawasan hutan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya didominir oleh puncak-puncak pegunungan Schwaner. Keberadaan pegunungan tersebut merupakan perwakilan dari tipe ekosistem hutan hujan tropika pegunungan dengan kelembaban relatif tinggi (86%).

Tercatat 817 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 139 famili diantaranya Dipterocarpaceae, Myrtaceae, Sapotaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, dan Ericadeae. Selain terdapat tumbuhan untuk obat-obatan, kerajinan tangan, perkakas/bangunan, konsumsi, dan berbagai jenis anggrek hutan. Terdapat bunga raflesia (Rafllesia sp.) yang merupakan bunga parasit terbesar dan juga tumbuh di Gunung Kinibalu Malaysia. Tumbuhan endemik antara lain Symplocos rayae, Gluta sabahana, Dillenia beccariana, Lithocarpus coopertus, Selaginnella magnifica, dan Tetracera glaberrima. Satwa mamalia yang dapat dijumpai antara lain macan dahan (Neofelis nebulosa), orangutan (Pongo satyrus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutung merah (Presbytis rubicunda rubicunda), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rusa sambar (Cervus unicolor brookei), bajing terbang (Petaurista elegans banksi), dan musang belang (Visvessa tangalunga).

Jenis burung yang menetap di taman nasional ini antara lain enggang gading (Rhinoplax vigil), rangkok badak (Buceros rhinoceros borneoensis), enggang hitam (Anthracoceros malayanus), delimukan zamrud (Chalcophaps indica), uncal kouran (Macropygia ruficeps), kuau raja (Argusianus argus grayi), dan kuau kerdil Kalimantan (Polyplectron schleiermacheri). Kuau kerdil merupakan satwa endemik pulau Kalimantan yang paling terancam punah akibat kegiatan manusia di dalam hutan.


Masyarakat asli yang berada di sekitar taman nasional merupakan keturunan dari kelompok suku Dayak Limbai, Ransa, Kenyilu, Ot Danum, Malahui, Kahoi dan Kahayan. Karya-karya budaya mereka yang dapat dilihat adalah patung-patung kayu leluhur yang terbuat dari kayu Ulin, kerajinan rotan/bambu/pandan dan upacara adat.

Menuju Puncak Bukit Raya:

Bukit Raya berada tepat di Provinsi Kalimantan Tengah tepatnya pada Kabupaten Katingan. Letak dari Bukit Raya yang juga berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat menjadikan akses jalan menuju Puncak Bukit Raya dapat ditempuh melalui Provinsi Kalimantan Barat maupun Provinsi Kalimantan Tengah.

Bukit Raya oleh masyarakat Kalimantan Tengah maupun masyarakat Kalimantan Barat, sudah sejak dahulu dijadikan sebagai jalur lintas yang mereka lewati jika hendak menuju desa atau perkampungan warga, baik yang berada di Kalimantan Barat maupun yang berada pada Kalimantan Tengah.

Menurut keterangan dari beberapa tokoh masyarakat (desa), jalan yang mereka lewati untuk menuju puncak Bukit Raya dapat dijangkau melalui beberapa rute tergantung dari desa mana mereka berasal dan kemana arah tujuan mereka. Adapun jalur yang sering mereka lalui untuk menuju puncak Bukit Raya jika dari Kalimantan Tengah yaitu melalui Desa Sabaung menuju Desa Rantau Malam atau arah sebaliknya jika dari Kalimantan Barat.

Dari Riam Habangoi melalui Desa Sabaung adalah salah satu rute yang biasa dilalui warga setempat untuk mencapai puncak Bukit Raya. Jalur ini juga merupakan jalur yang dilalui oleh salah satu Tokoh Pendiri Provinsi Kalimantan Tengah untuk menuju Puncak Bukit Raya, dan konon menurut keterangan dari warga setempat Puncak Bukit Raya merupakan salah satu tempat pertapaan Tokoh Pendiri Provinsi Kalimantan Tengah tersebut.

Pendakian mencapai Puncak Bukit Raya dengan menyelusuri sungai, pengamatan satwa/tumbuhan, wisata budaya menjadikan suatu pengalaman yang penuh tantangan dan keindahan. Ketinggian Bukit Raya sekitar 2.278 meter dpl, suhu udara antara 7° - 10°C.

Keindahan lain yang disuguhkan dari panorama alam Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya yaitu :
Sungai Senamang, Sepan Apui, Wisata Arung Jeram, Sumber Air Panas, Padang Pengembalaan Rusa, Pengamatan Satwa dan Air Terjun.

Cara pencapaian lokasi :

Rute perjalanan dari Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah yaitu Palangka Raya menuju Puncak Bukit Raya melalui Desa Sabaung dengan cukup terperinci di uraikan pada Tabel berikut ini ;


Aksesibilitas Menuju Puncak Bukit Raya

No.

Rute

Sarana
Tranportasi

Waktu
Tempuh

Biaya

Keterangan

Satuan

Harga

1.

Palangka Raya – Tbg. Samba

Taxi/Travel
(Darat)

4 - 6 Jam

Orang
Carter

Rp. 80.000,-

Rp. 550.000,-


2.

Tbg. Samba - Tbg. Hiran

Klotok
(Sungai)

5 – 6 Jam

Orang

Rp. 80.000,-


Taxi/Travel

(Darat)

3 – 4 Jam

Orang

Rp. 80.000,-


3.

Tbg. Hiran – Riam Rangkong

Klotok (Sungai)

8 – 10 Jam


Rp. 3.000.000,-

Alternatif 1

4.

Tbg. Hiran — Sabaung

Klotok
(Sungal)

2 - 3 Jam

Carter

Rp. 500.000,-

Alternatif 2

Sabaung — Riam Rangkong

Klotok
(Sungai)

6 - 8 Jam

Carter

Rp. 2.500.000,-

Keterangan : Jika air sungai tidak surut dapat menggunakan klotok besar dari Tbg Hiran atau Desa Sabaung menuju Riam Rangkong.



Kantor:

Balai Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya

Jln. Dr. Wahidin S. No. 75 Sintang 78611, Kalimantan Barat

Telp./Fax : (0565) 23521

E-mail : tnbbb@plasa.com

Seksi Pengelolaan TN Wilayah II

Komplek Perkantoran Pemkab Katingan Kav 71a

Kasongan - Kalimantan Tengah

Telp./Fax: (0536) 4043591

Resort Tumbang Hiran

Jln. Cilik Riwut Tumbang Hiran Kecamatan Marikit

Kabupaten Katingan - Kalimantan Tengah

E-mail : resorthiran@gmail.com


Senin, 30 April 2012

EVOLUSI STRATEGI TIM RBM PUSAT


Strategi Awal
Tim RBM sejak awal telah dibangun melalui pola-pola multipihak, dengan melibatkan unsur-unsur dari luar birokrasi Dit KK dan BHL. Kelompok tersebut antara lain figur-figur yang memiliki kapasitas di bidangnya, seperti Agus Mulyana-eks CIFOR (fasilitator), Iwan Setiawan-fasilitator (PILI), Suer Suryadi (praktisi biologi konservasi dan ahli hukum), Robi Royana (praktisi konservasi). Tim juga terdiri dari beberapa figgur di luar Subdit Pemolaan dan Pengembangan, khususnya lintas Subdit di Dit KK dan BHL.
Walaupun RBM sering dinyatakan sebagai HP lama dengan “chasing” baru, namun RBM yang digagas bukan sekedar bungkus baru. RBM yang dibangun adalah upaya untuk merubah sebagian besar pola pikir dan sikap mental, utamanya yang cenderung “project –oriented” semata, perencanaan yang dilakukan dari belakang meja oleh kelompok kecil di Balai, transparansi penggunaan anggaran yang sangat rendah, munculnya frustasi staf lapangan dan kelompok sarjana yang mulai tidak puas dengan pola kerja “proyek”, tanpa adanya perubahan yang cukup substansial di tingkat lapangan. Hal ini di beberapa kasus, telah meningkat pada level frustasi akibat kebuntuan komunikasi dan tidak hadirnya leadership riil di tingkat lapangan.
Dalam perkembangan terbaru di Januari 2012 , muncul kegelisahan tentang filosofi dan makna dibalik RBM. Mengapa RBM sedemikian penting untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Mengapa banyak pemahaman yang sangat dangkal tentang “gerakan kembali ke lapangan Ini”, dan masih banyak berbagai kegundahan di antara anggota tim pusat. Muncul soal-soal yang berkaitan dengan spiritualitas, religiositas, dan sebagainya.
SPIRITUALITAS RBM
RBM ternyata dapat diintepretasikan sebagai perintah untuk “membaca”. Perintah Iqra ini pertama kali diterima Muhammad di Gua Hira” beberapa Abad yang lalu. “Membaca” dalam arti luas, ternyata juga perintah kepada manusia untuk mempelajari alam semesta (termasuk kawasan konservasi). Mengapa kita diminta membaca alam semesta. Tentu agar kita mau berfikir dan menggunakan akal dan nurani untuk memahami dan mengetahui isi serta manfaat dari alam ciptaan Tuhan ini. Interpretasi lanjutannya adalah, bahwa agar manusia tidak buta huruf dan terjebak ke dalam zaman “kegelapan” konservasi, jaman jahiliyah konservasi. Dengan “membaca”, yang berarti kita harus bekerja di lapangan, maka kita mulai mengetahui isi kawasan, memahami manfaatnya, dan akhirnya memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Maka dalam konteks pemahaman seperti ini, RBM menjadi tugas mulai kita bersama. Dengan ilmu pengetahuan, data yang dihimpun, lalu dikelola dalam SIM RBM, yang diolah menjadi informasi, dan pengetahunan. Dengan semakin lengkapnya data dan informasi, maka secara bertahap kita berhijrah dari era kegelapan menuju zaman terang bendarang. Masa depan seperti inilah yang kita harapkan terjadi, sehingga kawasan konservasi dapat dipertahankan untuk dikembalikan kepada generasi mendatang 100-500 tahun ke depan (dalam keadaan yang tidak terlalu rusak), karena kawasan konservasi hanya titipan anak cucuk kita yang saat ini belum lahir. RBM harusnya dilihat dalam konteks lintas generasi dan mandat Tuhan kepada manusia yang seperti itu.
TUJUAN AKHIR RBM
Membangun kelembagaan pengelolaan yang memiliki kemampuan untuk mampu menghadapi tantangan yang berkembang dan potensi kawasan yang beragam dan dapat dikembangkan secara dinamis, sekaligus dapat melakukan adaptasi ke dalam dan keluar.
Ciri-ciri kelembagaan UPT yang telah menerapkan RBM adalah:
  • Antisipatif : dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai persoalan.
  • Responsif : mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap berbagai persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan.
  • Inovatif : berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan menghadapi persoalan internal dan eksternal.
  • Adaptif : mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan mobilisasi sumberdaya dalam merespon beragamnya perubahan situasi dan kondisi yang akan berdampak pada kelestarian kawasan dan fungsinya.
  • Transparan : berani melakukan perubahan paradigma menjadi lebih terbuka dan melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus manajemen”.
  • Akuntabel : memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan, tertib pelaporan, dan kualitas pekerjaan.
  • Menjadi Leading Agency dalam penyusunan dan menerapkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
  • Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di lingkungan internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.
  • Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi dan memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kelestariannya.
  • Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya budaya “membaca” yang didisain untuk mempercepat proses pemahaman dan penguasaan data, informasi, dan pengetahuan tentang kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
PERBANDINGAN NON RBM vs RBM
Aspek
Sebelum RBM
Sesudah RBM
Identifikasi Akar Masalah dan Potensi
Berdasarkan telaah dokumen, atau hasil survai terbatas dan belum mendalam, teknik survai belum teruji, kegiatan terbatas dilakukan oleh internal, belum melibatkan pakar/praktisi, hasil belum dapat dibandingkan untuk memprediksi trend, baru bisa memotret sympton bukan core problem-nya
Berdasarkan hasil survai dan kajian yang cukup mendalam, dengan teknis pengambilan data yang lebih akurat, melibatkan pakar/praktisi, masyarakat, bersifat time series sehingga dapat memprediksi trend, ,dapat diidentifikasi akar masalah, potensi yg layak dan prioritas dikembangkan.
Perencanaan untuk penyusunan DIPA
Disiapkan oleh kelompok kecil di Balai; Nuansa top-down masih sangat dominan.

Belum didasarkan pada data, fakta, dan analisa kebutuhan riil di lapangan.
Kualitas perencanaan masih rendah, kurang tepat sasaran, masih ada gap antara kebutuhan lapangan dengan ketersediaan perencanaan dan alokasi anggaran
Disiapkan dengan melibatkan Kepala Seksi, Kepala Resort, dan sebagian besar staf Balai. Nuansa keterbukaan komunikasi dan proses bottom-up sangat kental.
Didasarkan pada data dan informasi serta kebutuhan riil dan prioritas kebutuhan di setiap Seksi dan Resort
Kualitas perencanaan lebih baik, lebih realistis, dibuat berdasarkan skala prioritas sesuai tipologi resort, ,lebih tepat sasaran
Pelaksanaan Kegiatan
Nuansa top-down masih kental, Seksi dilibatkan secara terbatas, di tingkat resort suasana menunggu masih dropping dana, untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Hal ini diiringi dengan kurang jelasnya sistem kerja, SPJ,pelaporan; peran Kepala Seksi atau “Tim Balai” untuk memberikan bimbingan bleum nampak
Persiapan pelaksanaan kegiatan, dimulai dengan pembahasan bersama, minimal melibatkan Seksi, Tim Balai, menyiapkan ToR untuk setiap kegiatan; mengoptimalkan mekanisme rapat bulanan, atau triwulan, untuk membicarakan persiapan pelaksanaan kegiatan (metode kerja, teknik pengambilan data, SPJ,tata waktu, tim kerja, dsb).
Monitoring dan Evaluasi
Dilakukan secara terbatas oleh Satuan Pengawas Internal (SPI), hanya fokus pada realisasi kegiatan fisik dan keuangan.
Dilakukan oleh SPI dengan melibatkan Seksi dan Resort, serta masyarakat (apabila diperlukan); proses pembelajaran berlangsung dengan intens;
Arahan dan bimbingan diberikan tepat waktu ketiak proses monitoring, sehingga setiap kegiatan dapat mencapai sasarannya.
Evaluasi dilakukan setiap akhir tahun untuk mengetahui capaian fisik (output) dan outcomes-nya.
Hasil evaluasi dijadikan dasar perbaikan perencanaan di tahun yang akan datang.
Leadership
Kepemimpinan masih sangat lemah, arah organisasi kurang jelas, transparansi sangat rendah, muncul berbagai kelompok di Balai (PEH, Polhut, Tim Proyek,dsb); reward dan punishment tidak jelas, suasana kerja tidak kondusif. Kondisi ini berdampak pada tidak selesainya persoalan kawasan, dan berbagai inisiatif kemitraan tidak jalan.
Transparansi yang dikembangkan di berbagai level mulai menghasilkan terbangunnya rasa saling percaya (trus) di hampir seluruh jajaran balai, Seksi, Resort; tumbuh kembangnya rasa sebagai “satu keluarga” besar, saling menghargai, saling menyapa, saling mengingatkan; suasana kerja menjadi lebih kondusif dan nyaman untuk dibangunnya komunikasi yang sehat; Kepala Balai berperan sebagai “orang tua”, yang membimbing, mengarahkan, dan menegur “anak-anaknya”; energi positif mengalir ke berbagai lini, termasuk kepada mitra; arah organisasi menjaid semakin jelas; data dan informasi kawasan semakin lengkap dan kawasan dapat dikelola dan mulai dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat (riil jangka pendek) dan pengembangan ilmu pengetahuan (jangka panjang).
Perubahan sikap mental
Sebagian besar staf dan pimpinan belum menunjukkan sikap mental tentang pentingnya kualitas dan validitas data dan informasi yang dikumpulkan dari lapangan.
Sebagian besar staf dan pimpinan telah menyadari pentingnya kualitas data dan informasi yang diambil dari lapangan, pentingnya ketepatan metode pnegambilan data, analisis data, melakukan check, cross check, dan recheck (prinsip triangulasi, mengawal proses pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas dan kapablitas staf, sebagai bagian dari upaya membangun “learning organsization”, sebagai modal dasar membangun profesionalisme dan menata sikap mental staf yang cinta kejujuran ilmiah dan kejujuran spiritual.
Culture Organisasi
Organisasi diwarnai dengan situasi pasif, reaktif, business as usual, blue-print attitude, menunggu petunjuk atasan, Jakarta.
Organisasi sangat aktif, proaktif, banyak melakukan innovatif, adapsi terhadap berbagai perubahan, membangun network kerja, membangun strategi komunikasi dan marketing dan bahkan mulai dipikirkan membangun kultur dan icon atau branding organization.Dengan indikasi liputan media positif terhadap performa organisasi.


Disusun oleh: KELOMPOK JUANDA 15 (5 Januari 2012)
Dalam : http://konservasiwiratno.blogspot.com/2012/01/evolusi-pemikiran-dan-praktik-resort.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar